Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia. Salah satu hak konstitusional yang ditentukan dalam
Undang-undang Dasar atau UUD 1945 adalah bahwa setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif. Indonesia merupakan negara majemuk yang
memiliki berbagai suku bangsa, ras dan etnis. Tugas esensial negara adalah
penghapusan diskriminasi ras dan etnis diatur dalam Undang-undang atau UU Nomor
40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis.
Kasus Kerusuhan Mei 1998 Kerusuhan Mei 1998
adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia pada
13 - 15 Mei 1998. Tidak hanya di Ibukota Jakarta, tetapi juga sejumlah daerah
lainnya. Kerusuhan Mei 1998 diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh
tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei
1998. Banyak toko dan perusahaan yang hancur oleh amukan massa, terutama milik
warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.
Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di
Jakarta, Medan dan Surakarta. Setelah Unjuk Rasa di Berbagai Daerah, Akankah
DPR Hentikan Revisi UU Pilkada? Artikel Kompas.id Baca juga: Diskriminasi Usia
Ratusan wanita keturunan Tionghoa mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan
Mei 1998. Sebagian dianiaya dengan sadis kemudian dibunuh. Pemerintah
mengeluarkan pernyataan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan atas
kasus-kasus penganiayaan dan pembunuhan, tetapi pernyataan ini dibantah oleh
banyak pihak dan masih menjadi kontroversi.
Kasus di Sambas-Kalimantan Barat Tahun
1998-1999 Kerusuhan di Sambas adalah pecahnya kerusuhan antar-etnis di wilayah
Kabupaten Sambas dan sekitarnya. Kerusuhan Sambas terjadi akibat kejengkelan
Melayu terhadap oknum pendatang dari Madura. Pekerjaan yang dilakukan warga
Madura tidak berbeda jauh dengan warga Melayu yaitu petani dan buruh. Oleh
karena itu, terjadi kasus perebutan sumber daya ekonomi terutama tanah
pertanian. Akibat kerusuhan Sambas, sebanyak 1.189 orang tewas, 168 luka berat,
34 luka ringan, 3.833 rumah, 12 mobil, dan 9 motor rusak. Selain itu, 58.544
warga Madura mengungsi dari Kabupaten Sambas ke Pontianak.
Pemerintah Kabupaten Sambas memutuskan untuk
memindahkan warga Madura dari Sambas ke Kota Pontianak untuk meredakan konflik
antara kedua suku. Baca juga: Hari Perempuan Internasional, Serikat Pekerja
Desak Pemerintah Perhatikan Diskriminasi Buruh Wanita Kasus di
Sampit-Kalimantan Tengah Tahun 2001 Kerusuhan Sampit adalah kerusuhan
antar-etnis yang terjadi di Sampit pada awal Februari 2001.
Konflik ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan
Tengah yang kemudian meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka
Raya. Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura. Kala
itu, para transmigran asal Madura telah membentuk 21 persen populasi Kalimantan
Tengah. Akibatnya, Kalimantan Tengah merasa tidak puas karena terus merasa
disaingi oleh Madura. Menurut rumor warga Madura lah yang menjadi pelaku
pembakaran rumah Dayak tersebut. Sesaat kemudian, warga Dayak pun mulai
membalas dengan membakar rumah-rumah orang Madura. Kerusuhan Sampit
mengakibatkan 1.335 orang Madura harus mengungsi dan sedikitnya 100 warga
Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.
Kerusuhan Sampit mulai mereda setelah
pemerintah meningkatkan keamanan, mengevakuasi warga, dan menangkap provokator.
Untuk memperingati akhir konflik ini, dibuatlah perjanjian damai antara suku
Dayak dan Madura. Guna memperingati perjanjian damai tersebut, dibentuklah
sebuah tugu perdamaian di Sampit. Referensi Bagir, Zainal Abidin, dkk.
2011. Pluralisme Kewargaan. Bandung: Mizan dan CRCS UGM Anam, Choirul. 2016.
Upaya Negara Menjamin Hak-hak Kelompok Minoritas di Indonesia. Jakarta: Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar