Kamis, 12 Juni 2014

Kebijakan Pendidikan Islam





Tugas UAS (Take Home Exam)
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Pendidikan
Dosen Pembimbing:  Dr. Agus Pahrudin, M.Pd.
Oleh:
Siti Zubaidah                         (1211010050)
Jurusan            : PAI (Pendidikan Agama Islam)
Semester          : IV (Empat)
Kelas               : D

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
1435 H/2014 M


KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Karena limpahan rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan tugas UAS tentang Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Pendidikan. Shalawat serta salam juga kami limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman cahaya yang terang benderang ini. adapun tujuan penyusunan makalah ini guna melengkapi nilai mata kuliah kebijakan pendidikan islam sekaligus memberi tambahan wawasan kepada teman-teman semua.
Saya mengucapkan terimakasih kepada bapak Dr. Agus Pahrudin, M.Pd. selaku pembimbing mata kuliah kebijakan pendidikan islam dan tak lupa terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak. semoga makalah ini bermanfaat untuk mahasiswa dan juga pembaca sebagai acuan agar dapat mengetahui tentang Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Pendidikan.
Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dalam memahami materi  Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Hati Nurani, dan dapat melanjutkan ke materi yang selanjutnya, dengan baik. Selain itu saran maupun kritikan yang konstruktif sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah yang selanjutnya.


Bandar Lampung,  7  Juni 2014

                                                                        Siti Zubaidah



UU SISDIKNAS
A.    Latar Belakang
Pendidikan biasanya berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran.Berkaitan dengan hal itu, pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi setiap orang di belahan dunia manapun termasuk di Indonesia.
Secara umum, pendidikan dapat diartikan sebagai Suatu metode untuk mengembangkan keterampilan, kebiasaan dan sikap-sikap yang diharapkan dapat membuat seseorang menjadi lebih baik. Menurut Undang-Undang Sisdiknas No 2 tahun 1989  bahwa Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Undang-Undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Peningkatan mutu pendidikan dirasakan sebagai suatu kebutuhan bangsa yang ingin maju. Dengan keyakinan bahwa pendidikan yang bermutu dapat menunjang pembangunan disegala bidang. Oleh sebab itu perlu adanya pemahaman tentang dasar dan tujuan pendidikan secara mendalam. Apabila kita telah memamahami dasar dan tujuan pendidikan, maka kita bisa memajukan pendidikan secara nasional.
Dasar dan tujuan pendidikan merupakan masalah yang fundamental dalam pelaksanaan pendidikan, karena dasar pendidikan itu akan menentukan corak dan isi pendidikan. Tujuan pendidikan itupun akan menentukan kearah mana anak didik akan dibawa. Untuk itu maka kita harus benar benar memahami apa saja dasar pendidikan dan tujuan yang nantinya bisa dicapai.

B.     Dasar Kebijakan UU Sisdiknas
Yang dimaksud dengan dasar di sini adalah sesuatu yang menjadi kekuatan bagi tetap tegaknya suatu bangunan atau lainnya, seperti pada rumah atau gedung, maka pondasilah yang menjadi dasarnya.Begitu pula halnya dengan pendidikan, dasar yang dimaksud adalah dasar pelaksanaannya, yang mempunyai peranan penting untuk dijadikan pegangan dalam melaksanakan pendidikan di sekolah-sekolah atau di lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Adapun dasar pendidikan di negara Indonesia secara yuridis formal telah dirumuskan antara lain sebagai berikut:
1.      Undang-Undang tentang Pendidikan dan Pengajaran No. 4 tahun 1950,  Nomor 2 tahun 1945, Bab III Pasal 4 Yang Berbunyi: Pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas asas-asas yang termaktub dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar RI dan kebudayaan bangsa Indonesia.
2.      Ketetapan MPRS No. XXVII/ MPRS/ 1966 Bab II Pasal 2 yang berbunyi: Dasar pendidikan adalah falsafah negara Pancasila.
3.      Dalam GBHN tahun 1973, GBHN 1978, GBHN 1983 dan GBHN 1988 Bab IV bagian pendidikan berbunyi: Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila.
4.      Tap MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN dalam Bab IV bagian Pendidikan yang berbunyi: Pendidikan Nasional (yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
5.      Undang-undang RI No 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
6.      Undang-undang RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan demikian jelaslah bahwa dasar pendidikan di Indonesia adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sesuai dengan UUSPN No. 2 tahun 1989 dan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 12:
1.      Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak:
a.       Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
b.      Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemauannya.
c.       Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
d.      Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
e.       Pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan pendidikan lain yang setara.
f.       Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing yang tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
2.      Setiap peserta didik berkewajiban:
a.       Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin kelangsungan proses dan keberhasilan pendidikan.
b.      Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebutsesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C.    Tujuan
Tujuan pendidikan adalah suatu factor yang amat sangat penting di dalam pendidikan, karena tujuan merupakan arah yang hendak dicapai atau yang hendak di tuju oleh pendidikan.Begitu juga dengan penyelenggaraan pendidikan yang tidak dapat dilepaskan dari sebuah tujuan yang hendak dicapainya.
Hal ini dibuktikan dengan penyelenggaraan pendidikan yang di alami bangsa Indonesia. Tujuan pendidikan yang berlaku pada waktu Orde Lama berbeda dengan Orde Baru. Demikian pula sejak Orde Baru hingga sekarang, rumusan tujuan pendidikan selalu mengalami perubahan dari pelita ke pelita sesuai dengan tuntutan pembangunan dan perkembangan kehidupan masyarakat dan negara Indonesia.
Tujuan dan fungsi dari pendidikan nasional dituangkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 3 yang berbunyi :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”

D.    Realisasinya di Lapangan
Hasil Wawancara kepada ibu Tika Chairumni, S.Pd. guru SMP Islam Terpadu Al-Munir Sukoharjo, Pringsewu
1.      Menurut pendapat ibu, apakah yang di maksud dengan sistem pendidikan nasional?
Sistem pendidikan nasionl adalah usaha yang baik dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
2.      Apakah menurut ibu sistem dan mutu pendidikan di Indonesia sudah baik, khususnya di sekolah tempat ibu mengajar?
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah masih terlalu padat, sehingga tidak memberikan ruang yang memadai bagi peserta didik untuk memahami dan mendalami suatu materi dari berbagai aspek, dengan memanfaatkan berbagai metode dan media pembelajaran. Kualitas guru-guru masih belum memadai.
Masih ada anak-anak usia sekolah yang belum mendapatkan hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan, sarana dan prasarana yang memadai. Masih banyak sekolah dengan kondisi yang memprihatinkan, dari sisi gedung, perpustakaan atau laboratorium. Tawuran antar pelajar masih menunjukkan kelemahan sistem pendidikan dalam membangun karakter siswa.
3.      Bagaimana pendapat ibu mengenai perubahan UUSPN NO 2 th 1989 menjadi UUSPN no 20 th 2003?
Menurut saya sangat bagus, karena memang UU nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 maka perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan perubahan UUSPN th 1989 ke th 2003, banyak sekali keuntungan yang di dapat khususnya umat islam.


UU GURU DAN DOSEN
A.    Latar Belakang
Bab ini membahas masalah tentang UU Guru dan Dosen di karenakan sangat pentingnya masalah tersebut. Hal ini sangat penting dipelajari agar guru dan dosen maupun pihak-pihak yang lain dapat mengerti dan memahami bagaimana peraturan-peraturan guru dan dosen. Dengan memahami UU Guru dan Dosen dengan baik maka guru dan dosen mampu mengatasi berbagai permasalahan pendidikan khususnya guru dan dosen. Jadi jika guru dan dosen tidak membekali pengetahuan tentang peraturan-peraturan yang baik maka anak didik tidak dapat bersosialisasi baik terhadap orang yang ada disekitarnya dan tidak peduli pada kehidupan di sekitarnya.
Pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu dengan adanya teknologi informasi yang semakin canggih dan semakin global semakin  memudahkan para guru dan dosen untuk mengembangkan kualitas pedidikan agar lebih baik lagi.
Untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah, dan berkesinambungan bahwa guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan.
Salah satu upaya pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah  mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Oleh karena memiliki kedudukan dan peranan yang strategis dalam pembangunan nasional bidang pendidikan khususnya dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak berbeda dengan pada masa tradisional, dengan bahasa dan istilah yang lain pada masa sekarang ini guru dituntut untuk memiliki kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme. Namun ironisnya, guru yang mengemban tugas mulia dan tidak ringan serta secara sosio-kultural memiliki kedudukan yang terhormat, tidak mendapatkan penghargaan yang setara dengan kedudukan dan tugas yang diembannya.
B.     Dasar Kebijakan
Undang-Undang GURU dan DOSEN  nomor 14 tahun 2005 terdiri dari: 8 Bab dan 84 Pasal, 205 ayat, yang memuat tentang:
1.      Umum: 6 Bab, 15 Pasal, 23 ayat
2.      Tentang Guru: 1 Bab, 37 Pasal, 96 ayat
3.      Tentang Dosen: 1 Bab, 32 Pasal, 86 ayat
BAB IV GURU
Bagian Ke 1: Kualifikasi, Kompetensi dan Sertifikasi (Ps 8-13)
Bagian Ke-2: Hak dan Kewajiban (Ps 14-20)
Bagian Ke-3: Wajib Kerja dan Ikatan Dinas (Ps 21-23)
Bagian Ke-4: Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan dan Pemberhentian (Ps 24-31)
Bagian Ke-5: Pembinaan dan Pengembangan (Ps 32-35)
Bagian Ke-6: Penghargaan (Ps36-38)
Bagian Ke-7: Perlindungan (Ps39)
Bagian Ke-8: Cuti (Ps 40)
Bagian Ke-9: Organisasi Profesi dan Kode Etik (Ps 41-44)

BAB V DOSEN
Bagian Ke-1: Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi dan Jabatan Akademik (Ps 45-50)
Bagian Ke-2: Hak dan Kewajiban Dosen (Ps 51-60)
Bagian Ke-3: Wajib Kerja dan Ikatan Dinas (Ps 61-62)
Bagian Ke-4: Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan dan Pemberhentian (Ps 63-69)
Bagian Ke-5: Pembinaan dan Pengembangan (Ps 69-72)
Bagian Ke-6: Penghargaan (Ps 73-74)
Bagian Ke-7: Perlindungan (Ps 75)
Bagian Ke-8: Cuti (Ps 76) 
Peraturan Pemerintah dan Menteri lainnya yang membahas tentang Dosen terdapat dalam:
1.      Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi
2.      Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi Berbadan Hukum Milik Negara (BHMN)
3.      Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
4.      Peraturan Mendiknas RI Nomor 42 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Dosen
5.      Kepmenkowasbangpan Nomor 38 Tahun 1999 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan  Angka Kreditnya
6.      Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2008 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Mendiknas Nomor 42 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Dosen.
7.      Peraturan Mendiknas Nomor 9 Tahun 2008 tentang Perpanjangan BUP PNS yg Menduduki Jabatan GB/Profesor dan Pengangkatan GB/Profesor Emeritus
8.      Peraturan Mendiknas Nomor 18 Tahun 2008 tentang Penyaluran Tunjangan Profesi Dosen.
9.      Peraturan Mendiknas Nomor 19 Tahun 2008 tentang Perguruan Tinggi Penyelenggara Sertifikasi Dosen.
10.  Peraturan Mendiknas Nomor 20 Tahun 2008 tentang Penetapan Inpassing Pangkat Dosen Bukan Pegawai Negeri Sipil yang Telah Menduduki Jabatan Akademik Pada Perguruan Tinggi yang Diselenggarakan oleh Masyarakat.

C.    Tujuan
Tujuan pembuatan Undang-Undang Guru:          
1.      Mengangkat harkat, citra, dan martabat guru
2.      Meningkatkan tanggung jawab profesi guru sebagai pengajar, pendidik, pelatih, pembimbing, dan manajer pembelajaran
3.      Memberdayakan dan mendayagunakan profesi guru
4.      Memberikan jaminan kesejahteraan dan perlindungan terhadap profesi guru
5.      Meningkatkan mutu pelayanan dan hasil pendidikan
6.      Mendorong peran serta masyarakat dan kepedulian terhadap guru
UU guru memberikan perlindungan hukum dalam: profesi kesejahteraan jaminan sosial hak dan kewajiban, yang berdasarkan Landasan Hukum sbb :
1.      UUD 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan (2), dan Pasal 31 UU No 8/1978 Jo
2.      Undang-undang No 43/1999 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian
3.      UU Nomor 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan
4.      UU Nomor 20/2003 Tentang Sisdiknas
5.      UU Nomor 32/2004 Tentang Pemerintah Daerah  

D.    Realisasinya di Lapangan
Hasil Wawancara kepada ibu Tika Chairumni, S.Pd. guru SMP Islam Terpadu Al-Munir Sukoharjo, Pringsewu
1.        Menurut pendapat anda, undamg-undang guru dan dosen berfungsi sebagai apa?
Guru sebagai tenaga profesional: Berfungsi meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dosen sebagai tenaga profesional: Berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
2.        Bagaimana menurut anda tentang persyaratan seseorang yang akan mengajar/menjadi guru?
Guru wajib memiliki: Kualifikasi akademik Sarjana atau Diploma Empat (S1 atau D-IV), kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan professional, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.


WAJIB BELAJAR 9 TAHUN
A.    Latar Belakang
Pada umumnya, orang yakin bahwa dengan pendidikan umat manusia dapat memperoleh peningkatan dan kemajuan baik di bidang pegetahuan, kecakapan, maupun sikap dan moral. Pendidikan dipandang sebagai sarana intervensi kehidupan dan agen pembaharu. Anggapan dan keyakinan seperti yang dikemukakan di atas akan semakin memantapkan dan memperkokoh arti pendidikan dalam upaya menciptakan peningkatan kualitas peserta didik atau yang lebih dikenal upaya pengembangan sumber daya manusia, terurama dalam era memasuki abad 21 yaitu abad globalisasi.
Memperhatikan peranan dan misi pendidikan bagi umat manusia ini  tidaklah berlebihan apabila pihak yang bertanggung jawab di bidang pendidikan menggantungkan harapannya pada sektor pendidikan dalam rangka mengembangkan dan mengoptimalkan segenap potensi individu supaya dapat berkembang secara maksimal. jadi sudah selayaknya apabila setiap warga negara mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan menurut kemampuan.
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.
Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun merupakan perwujudan amanat pembukaan UUD 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. serta pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan (1) Tiap-tia warga negara berhak mendapat pengajaran dan (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-ungang. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam tulisan ini dikemukakan permasalahan mengenai Wajib belajar 9 Tahun.
B.     Dasar Kebijakan
Wajib belajar merupakan salah satu program yang gencar digalakkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Program ini mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk bersekolah selama 9 (sembilan) tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu dari tingkat kelas 1 Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga kelas 9 Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan nasional adalah UUD 45 Bab XIII, Pasal 31, ayat (1). Selain itu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar; Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara;
Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 18/Kep/Menko/Kesra/X/1994 tentang Koordinasi Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Nomor 07/Kep/Menko/Kesra HI/1999; Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 036/U/1995 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar; dan Permendiknas No 35 Tahun 2006. lebih jelasnya,dijelaskan di bawah ini.
Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan nasional adalah UUD 45 Bab XIII, Pasal 31, ayat (1) Yang menyatakan bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Hal ini mengandung implikasi bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu memberi kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Dengan demikian, dalam penerimaan seseorang sebagai peserta didik, tidak dibenarkan adanya perlakuan yang berbeda yang didasarkan atas jenis kelarruin, agama, ras, suku, Tatar belakang sosial dan tingkat kemampuan ekonomi.
Program pendidikan wajib belajar di Indonesia telah dirintis sejak tahun 1950. Dalam UU nomor 4 tahun 1950,  UU nomor 12 tahun 1954 telah ditetapkan bahwa setiap anak usia 8-14 tahunterkcna pendidikan wajib belajar. Namur program pendidikan wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah belum dapat berialan sebagaimana mestinya, karena adanya pergolakan pohtik secara tetus-menerus. (A. Daliman, 1995:138).
Gerakan pendidikan wajib belajar sebagai suatu gerakan secara nasional dan sekaligus sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional dimulai sejak Pelita IV. Pada hari pendidikan nasional tanggal 2 Mel 1984 secara resm’l Presiders Suharto mencanangkan dimulainya pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan wajib belajar. Pada tahap ini penyelenggaraan pendidikan wajib belajar masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Berbeda dengan pendidikan wajib belajar tahun 1950, maka pendidikan wajib belajar tahun 1984 ini lebih diarahkan kepada, anak-anak usla, 7-12 tahun.
Peningkatan pendidikan wajib belajar menjadi pendidikan wajib belalar 9 tahun dengan harapan terwujud pemerataan pendidikan dasar (SD dan SLIP) yang bermutu serta lebih menjangkau penduduk daerah terpencil. Hal ini sesuai dengan UU No: 2 tahun 1989 tentang stern pendidikan nasional, kemudian lebih dipertegas lagi di dalam Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagaimana yang tertuan pada pasal 34 sebagai berukut:
1.      Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
2.      Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terse­lenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
3.      Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
4.      Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana di­maksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Di dalam GBHN 1993, dicantumkan bahwa pemerintah harus berupaya untuk memperluas kesempatan pendidikan baik pendidikan dasar, pendidikan menengah kejuruan, maupun pendidikan profesional, melalui jalur sekolah dan jalur luar sekolah. Dalam rangka memperluas kesempatan belajar pendidikan dasar, maka pada tanggal 2 Mel 1994 pemerintah mencanangkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun. lebih lanjut dikemukakan bahwa tahap penting dalam pembangunan pendidikan adalah meningkatkan pendidikan wajib belajar 6 tahun menjadi 9 tahun. (Sri Hadjoko Wirjornartorio, 1995:49, Ahmadi, 1991:74,182).
Pendidikan wajib belajar 9 tahun menganut konsepsi pendidikan semesta (universal basic education), yaitu suatu wawasan untuk membuka kesempatan pendidikan dasar. Jadi sasaran utamanya adalah menumbuhkan aspirasi pendidikan orang tua dan peserta didik yang telah cukup umur untuk mengikuti pendidikan, dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas angkatan kerja secara makro.
Pelaksanaan pendidikan wajib belajar 9 tahun telah diatur lebih luas di dalam UU No: 20 tahun 2003. Bahwa sistem pendidikan nasional memberi hak kepada setiap warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu dan juga berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat (pasal 5 ayat 1 dan 5). Bagi warga negara yang memiliki kelainan emosional, mental, intelektual, dan atau sosial serta warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Merujuk pada paparan yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa ciri-ciri pelaksanaan pendidikan wajib belajar-9 tahun di Indonesia adalah; (1) tidak bersifat paksaan melainkan persuasif, (2) ddak ada sansi hukum, (3) tidak diatur dengan Undang-Undang tersendiri, dan (4) keberhasilan diukur dengan angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin meningkat. Selain itu, Program Wajar 9 th ini diperkuat dengan Instruksi Presiden Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara; berikut adalah beberapa hal yang relevan dengan pembahasan yang dimuat dalam Permendiknas No 35 tahun 2006:
C.    Tujuan
Tujuan GNP-PWB/PBA adalah:
1.      Mempercepat perluasan akses anak usia 7-12 tahun di SD/MI/pendidikan yang setara dalam rangka mendukung penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun pada akhir tahun 2008;
2.      Mempercepat perluasan akses anak usia 13-15 tahun di SMP/MTs/pendidikan yang setara dalam rangka mendukung penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun pada akhir tahun 2008;
3.      Mempercepat peningkatan angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas melalui pengurangan jumlah penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas (data BPS 2004, sebanyak 15.414.311 orang atau 10,21%) menjadi 5% pada akhir tahun 2009.
D.    Realisasinya di Lapangan
Hasil Wawancara kepada ibu Tika Chairumni, S.Pd. guru SMP Islam Terpadu Al-Munir Sukoharjo, Pringsewu.
1.      Bagaimana menurut pendapat anda tentang pembayaran-pembayaran dalam suatu lembaga pendidikan, sedangkan sudah ada perturan wajib belajar 9 tahun?
Pembayaran tersebut dilakukan karenaada kepentingan lain/keperluan tambahan untuk meningkatkan mutu peserta didik.
2.      Mengapa masih banyak anak jalanan, padahal sudah ada perturan wajib belajar 9 tahun?
Karena orang tua kurang mendukung kemauan siswa dan bisa juga karena tidak ada kemauan dari anak itu sendiri.

KURIKULUM 2013
A.    Latar Belakang
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 disebutkan bahwa: Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan  bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara kegiatan belajar mengajar. Kurikulum  merupakan kunci dalam suatu pendidikan, yakni dengan adanya kurikulum ini selain dapat membantu mempermudah guru dalam melaksanakan suatu pembelajaran, juga dapat menjadi penentu arah, isi, dan proses pendidikan, yang mana pada akhirnya nanti menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan.
Oleh karena itu, kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan. Titik beratnya, mendorong peserta didik atau siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan (mempresentasikan), apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi pembelajaran.
Demi tercapainya keberhasilan suatu pendidikan tentunya perlu diadakan suatu perubahan. Dalam hal ini yakni dari kurikulum yang lama menjadi baru. Ini adalah suatu bentuk upaya perbaikan mnjadi yang lebih baik lagi. Sehingga, kini hadir kurikulum baru yakni kurikulum 2013. Yang mana tidak jauh berbeda dengan kurikulum yang sebelumnya yakni KTSP.
Adapun obyek yang menjadi pembelajaran dalam penataan dan penyempurnaan kurikulum 2013 menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan budaya. Melalui pendekatan itu diharapkan siswa kita memiliki kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan jauh lebih baik. Yang berakibat menjadikan peserta didik yang kreatif, inovatif dan produktif, hingga mereka bisa meniti sebuah kesuksesan dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan di zamannya.


B.     Dasar Kebijakan
Kebijakan pemerintah tentang pendidikansekitar kurikulum 2013 adalah:
1.      Peraturan Pemerintah No. 32/2013 tentang Perubahan Atas  PP.No. 19 Tahun 2005  tentang Standar Nasional Pendidikan

C.    Tujuan
Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara,dan peradaban dunia.
D.    Realisasinya di Lapangan
Hasil Wawancara kepada ibu Tika Chairumni, S.Pd. guru SMP Islam Terpadu Al-Munir Sukoharjo, Pringsewu
1.      Menurut pendapat ibu, apakah kendala yang akan dihadapi oleh guru-guru saat kurikulum baru diterapkan?
Yang pasti adaptasi dengan perubahan kurikulum. Kurikulum 2013 ini berubah drastis dari kurikulum sebelumnya. Selain itu juga, semua guru bidang studi dipaksa menguasai IT. Mungkin bagi guru-guru di kota, hal itu tidak jadi masalah. Tapi bagi kami guru-guru di kabupaten, mungkin butuh pelatihan untuk mendalami IT.”
2.      Dalam hal pelajaran, apakah ada kendala lain yang sekiranya akan dihadapi?
Yang pertama, karena penambahan jam pelajaran menjadi 5 jam. Sedangkan guru-guru SMP harus memenuhi total 24 jam mengajar. Kita guru-guru yang awalnya santai sekarang dengan adanya pemberitahuan begitu ya menjadi kelimpungan. Ibu saja sekarang akan mulai mengajar di 2 SMP untuk memenuhi total 24 jam mengajar.
3.      Bagaimana tentang kesiapan ibu sebagai guru memasuki kurikulum 2013 ini?
Siap tidak siap. Tapi mau bagaimana lagi. Ini kan sudah keputusan pemerintah. Sebenarnya disini juga guru-guru dipaksa untuk siap. Padahal, sampai saat ini saja belum diadakan pelatihan.
4.      Menurut pandangan ibu, apa saja kelebihan dari kurikulum yang baru ini?
Kelebihannya, kurikulum ini sudah mulai mengikuti kurikulum di negara-negara yang memiliki kualitas pendidikan baik. Selain itu, disini pemerintah berkeinginan menciptakan generasi muda yang mempunyai kriteria yang baik.


KOMITE MADRASAH/SEKOLAH
A.    Latar Belakang
Penyelenggaraan otonomi daerah harus diartikan sebagai upaya pemberdayaan daerah dan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam segala bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam bidang pendidikan, diperlukan wadah yang dapat mengakomodasi pandangan, aspirasi, dan menggali potensi masyarakat untuk menjamin demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas. Salah satu wadah tersebut adalah Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan.
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah merupakan amanat rakyat yang telah tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 – 2004. Amanat rakyat ini selaras dengan kebijakan otonomi daerah, yang telah memposisikan kabupaten/kota sebagai pemegang kewenangan dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan di daerah tidak hanya diserahkan kepada kabupaten/kota, melainkan juga dalam beberapa hal telah diberikan kepada satuan pendidikan, baik pada jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Dengan kata lain, keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah propinsi, kabupaten/kota, dan pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat atau stakeholder  pendidikan. Hal ini sesuai dengan konsep partisipasi berbasis masyarakat (community-based participation)  dan manajemen berbasis sekolah (school-based management), yang kini tidak hanya menjadi wacana, tetapi telah mulai dilaksanakan di Indonesia.
Untuk melaksanakan amanat rakyat tersebut, pada tahun anggaran 2001 Pemerintah telah melaksanakan rintisan sosialisasi pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah di Propinsi Sumatera Barat, Bali, dan Jawa Timur masing-masing satu kabupaten/kota. Selain itu ada beberapa kabupaten/kota yang telah membentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah berdasarkan inisiatif sendiri.
Berdasarkan hasil sosialisasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memang dipandang sangat strategis sebagai wahana untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Beberapa kalangan masyarakat yang diundang untuk memberikan masukan tentang pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, pada umumnya sangat antusias dan mendukung sepenuhnya gagasan ini
B.     Dasar Kebijakan
1.      Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2.      Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
3.      Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1992 Tentang Keterlibatan Masyarakat Dalam Sekolah (PP Komite Sekolah Belum)
4.      Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
5.      Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 599/C/Kep/PG/2002 tentang Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
6.      Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Nomor 420/Kep.2556-Disdik/2001 Tanggal 15 Juli 2001 tentang

C.    Tujuan
1.      Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan.
2.      Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
3.      Menciptakan suasana dan kondisi transparansi, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan
D.    Realisasinya di Lapangan
Hasil Wawancara kepada ibu Tika Chairumni, S.Pd. guru SMP Islam Terpadu Al-Munir Sukoharjo, Pringsewu.
1.      Menurut pendapat anda, apakah yang dimaksud dengan komite?
Menurut saya, komite adalah salah satu organisasi/institusi dalam lembaga pendidikan/sekolah.
2.      Apa kegunaan komite menurut anda?
Untuk biaya bangunan, SPP, biaya kesehatan dan lain sebagainya.
3.      Lalu, apakah setiap sekolah ada komite dan bagaimana dengan sekolah tempat anda mengajar?
Belum tentu, sekolah tempat saya mengajar ada komite. Belum  tentu semua sekolah  ada komite karena komite adalah kebijakan dari sekolah itu sendiri.


MANAJEMEN BERBASIS MADRASAH/SEKOLAH
A.    Latar Belakang
Dewasa ini, pemerintah semakin menyadari bahwa peningkatan kualitas pendidikan hanya dapat dicapai bila sekolah/madrasah diberikan kebebasan dan pendelegasian wewenang pada aspek desentralisasi kewenangan dalam membuat keputusan. Kemandirian sekolah/madrasah dalam mengelola dan menjalankan aktivitas pendidikan dan pengajaran merupakan salah satu solusi dalam menjawab problematika pendidikan dan pengajaran.
Selama ini, penyelenggaraan pendidikan di sekolah/madrasah serba di bawah teknis pemerintah tanpa memberikan kesempatan yang lebih longgar bagi penyelenggara pendidikan untuk lebih mandiri. Akibatnya, eksistensi sekolah hanya menjadi lambang dari perpanjangan kewenangan pemerinah, sekolah tidak dapat berbuat banyak merencanakan dan melaksanakan kegiatan pendidikan sesuai kebutuhan dan karakteristik sekolah bersangkutan.
Manajemen peningkatan mutut berbasis madrasah ialah merupakan model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas atau keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, peserta didik, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan pengertian di atas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan rencana peningkatan mutu) dan partisipasi kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah merupakan ciri khas MPMBS. Jadi sekolah merupakan unit utama pengelola proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi) merupakan unit pendukung dan pelayanan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu. Di dalam makalah ini akan mencoba membahas tentang manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
B.     Dasar Kebijakan
Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah dijamin oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 51 ayat (1) “pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Dengan demikian, prinsip Manajemen Berbasis Sekolah secara tegas dinyatakan dalam UU Nomor 20/2003 sebagai prinsip dalam pengelolaan pendidikan baik untuk pendidikan  anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 memberikan landasan hukum yang kuat untuk diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah atau School-Based Management dan Pendidikan Berbasis Masyarakat atau Community-Based Education. Gagasan-gagasan berdasarkan hasil studi, baik di luar maupun di dalam negeri, tentang effective schools (sekolah yang efektif) yang hanya mungkin direalisasikan kalau Manajemen Berbasis Sekolah diterapkan, serasa memperoleh peluang dalam suasana reformasi di bidang pendidikan dengan tema otonomi pedagogis sehingga turut mendorong diperkenalkannya MBS di Indonesia.
C.    Tujuan
Tujuan penerapan MBS untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas kurikulum, kualitas sumber daya manusia dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum.
Menurut Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia tujuan MBS itu meliputi,
1.      Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia
2.      Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama
3.      Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada sekolahnya
4.      Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai

D.    Realisasinya di Lapangan
Hasil Wawancara kepada ibu Tika Chairumni, S.Pd. guru SMP Islam Terpadu Al-Munir Sukoharjo, Pringsewu.
1.      Sepengetahuan anda, apakah yang dimaksud manajemen berbasis sekolah/madrasah?
Menurut pendapat saya MBS/MBM adalah salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang di tunjukan dengan pernyataan politik dan garis-garis besar haluan negara.
2.        Apakah sama antara manajemen berbasis sekolah/madrasah dan komite sekolah?
Tidak, manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah suatu pengaturan dalam suatu pendidikan dan komite ada didalam manajemen berbasis sekolah/madrasah



STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN (SNP)
A.    Latar Belakang
Sebagaimana ditetapkan dalam Bab IX, pasal 35, menyebutkan : “Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala”.
Konsep ini jelas dan rinci sebagai bahan acuan dalam penyelenggaraan satuan pendidikan termasuk acuan pengembangan program-programnya. Oleh karena itu, implikasinya terhadap pendidikan Islam adalah setiap penyelenggaraan satuan pendidikan, harus mengacu kepada standar nasional pendidikan tersebut, sehingga dapat secara kompetitif dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan.
Pada tanggal 7 Mei 2013 lalu, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, telah menandatangani sebuah peraturan baru yaitu  Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Berdasarkan konsideran dalam peraturan ini, perubahan peraturan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan perlu diselaraskan dengan dinamika perkembangan masyarakat, lokal, nasional, dan global guna mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, serta perlunya komitmen nasional untuk meningkatkan mutu dan daya saing bangsa.      
Sementara untuk pasal yang berkaitan dengan standar pendidik dan tenaga kependidikan,  standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan secara esensial tampaknya tidak banyak perubahan yang signifikan.
B.     Dasar Kebijakan
1.      Standar Isi :
a.       Nomor 22 tahun 2006 Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
b.      Nomor 24 tahun 2006 Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang standar Isi untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah.
c.       Nomor 14 Tahun 2007 Standar Isi Program Paket A, Program Paket B, dan Program Paket C
2.      Standar Kompetensi Lulusan :
a.       Nomor 23 Tahun 2006 Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
b.      Nomor 24 tahun 2006 Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang standar Isi untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah.
3.      Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan :
a.       Nomor 12 Tahun 2007 Standar pengawas Sekolah/Madrasah
b.      Nomor 13 tahun 2007 Standar Kepala Sekolah/Madrasah
c.       Nomor 16 Tahun 2007 Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
d.      Nomor 24 Tahun 2008 Standar Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah
e.       Nomor 25 Tahun 2008 Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah
f.       Nomor 26 Tahun 2008 Standar Tenaga Laboratorium Sekolah/Madrasah
g.      Nomor 27 Tahun 2008 Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor
h.      Nomor 40 Tahun 2009 Standar Penguji Pada Kursus dan Pelatihan
i.        Nomor 41 Tahun 2009 Standar Pembimbing Pada Kursus & Pelatihan
j.        Nomor 43 Tahun 2009 Standar Tenaga Administrasi Program paket A, Paket B, dan Paket C
k.      Nomor 42 Tahun 2009 Standar Pengelola Kursus
l.        Nomor 44 Tahun 2009 Standar Pengelola Pendidikan pada Program Paket A, Paket B dan Paket C
m.    Nomor 45 Tahun 2009 standar Teknisi Sumber Belajar Pada Kursus dan Pelatihan
4.      Standar Pengelolaan :
a.       Nomor 19 Tahun 2007 Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
5.      Standar Penilaian :
a.       Nomor 20 Tahun 2007 Standar Penilaian Pendidikan
6.      Standar Sarana Prasaran :
a.       Nomor 24 Tahun 2007 Standar Sarana dan Prasarana untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA
b.      Nomor 33 Tahun 2008 Standar Sarana dan Prasarana untuk SDLB, SMPLB, dan SMALB
c.       Nomor 40 Tahun 2008 Standar Sarana dan Prasarana untuk SMK/MAK
7.      Standar Proses :
a.       Nomor 41 Tahun 2007 Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
b.      Nomor 1 Tahun 2008  Standar Proses Pendidikan Khusus
c.       Nomor 3 Tahun 2008  Standar Proses Pendidikan Kesetaraan Program Paket A, Paket B, dan Paket C
8.      Standar Biaya :
a.       Nomor 69 Tahun 2009 Standar Biaya Operasi Nonpersonalia Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB)
C.    Tujuan
Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
D.    Realisasinya di Lapangan
Hasil Wawancara kepada ibu Tika Chairumni, S.Pd. guru SMP Islam Terpadu Al-Munir Sukoharjo, Pringsewu.
1.      Menurut pendapat anda, apakah yang dimaksud dengan SNP?
SNP adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.      Bagaimana menurut anda tentang standar sarana dan prasarana?
Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.


SERTIFIKASI GURU DAN DOSEN
A.    Latar Belakang
Guru profesional harus memiliki kualifikasi akademik minimum sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV), menguasai kompetensi (pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian), memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional tersebut dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tersebut mendefinisikan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Sebagai tenaga profesional, guru diharapkan dapat berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran dan berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sertifikasi guru sebagai upaya peningkatan mutu guru diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan.


B.     Dasar Kebijakan
Ada beberapa pasal yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai berikut :
1.      Pasal 1 butir 11: Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen.
2.      Pasal 8: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,sertifikasi pendididk, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
3.      Pasal 16: Guru yang memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji, guru negeri maupun swasta dibayar pemerintah.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, dikemukakan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai tenaga professional, sedangkan sertifikasi guru adalah suatu proses pemberian pengakuan bahwa seorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi. Jadi sertifikasi guru adalah proses uji kompetensi yang dirancang untuk mengungkapkan penguasaan kompetensi yang dirancang untuk mengungkapkan penguasaan kompetensi seseorang sebagai landasan pemberian sertifikat pendidik.
Guru wajib mengikuti sertifikasi, karena dengan sertifikasi seorang guru akan meningkatkan kemampuan dan keterlibatannya dalam melaksanakan tugas sebagai guru. Undang-Undang Tahun 2005 Nomor 14 Guru dan Dosen menyatakan bahwa sertifikasi sebagai bagian dari peningkatan dari mutu guru dan peningkatan kesejahteraannya. Dengan sertifikasi diharapkan guru menjadi pendidik profesional, yaitu berkompetensi sebagai agen pembelajaran yang dibuktikan dengan pemilikan sertifikat pendidikan setelah dinyatakan lulus uji kompetensi.
Penyelenggara Sertifikasi Guru Lembaga penyelenggara sertifikasi telah diatur oleh UU 14 tahun 2005, pasal 11 (ayat 2) yaitu perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. Maksudnya penyelenggaraan dilakukan oleh perguruan tinggi yang memiliki fakultas keguruan, seperti FKIP dan Fakultas Tarbiyah UIN, IAIN, STAIN, STAIS yang telah terakreditasi oleh Badan Akredittasi Nasional Republik Indonesia dan ditetapkan oleh pemerintah.
Pelaksanaan sertifikasi diatur oleh penyelenggara, yaitu kerja sama antara Dinas Pendidikan Nasional Daerah atau Departemen Agama Provinsi dengan Perguruan Tinggi yang ditunjuk. Kemudian pendanaan sertifikasi ditanggung oleh pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU 14 tahun 2005 pasal 13 (ayat 1) yaitu pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat  oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan guru adalah pendidik profesional, termasuk guru bimbingan konseling (guru BK) atau konselor dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas yang pada uraian ini selanjutnya disebut guru.

C.    Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai pemerintah melalui proses sertifikasi guru tidak hanya peningkatan kesejahteraan guru sebagai tenaga pendidik. Tujuan sertifikasi guru dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUDG) pasal 16 disebutkan bahwa dengan adanya peningkatan kesejahteraan guru diharapkan akan terjadi peningkatan mutu pendidikan nasional dari segi proses yang berupa layanan dan hasil yang berupa luaran pendidikan.
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan secara eksplisit mengisyaratkan adanya standarisasi isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.

D.    Realisasinya di Lapangan
Hasil Wawancara kepada ibu Tika Chairumni, S.Pd. guru SMP Islam Terpadu Al-Munir Sukoharjo, Pringsewu
1.      Menurut pendapat anda, apa manfaat sertifikasi guru dan dosen, sehingga tidak sedikit guru dan dosen yang mengejar sertifikasi ?
Setau  saya sertifikasi bermanfaat sebagai berikut:
a.       Melindungi profesi guru dari praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi guru itu sendiri.
b.      Melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional yang akan menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumber daya manusia di negeri ini.
c.       Menjadi wahana penjamin mutu bagi LPTK yang bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi penguna layanan pendidikan.
d.      Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan eksternal yang potensial dapat menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
2.      Apa saja yang di nilai atau di ujikan untuk mendapatkan sertifikasi guru dan dosen?
Dalam hal ini, tidak diujikan namun di amati, yaitu: Ketaatan menjalankan agama; tanggung jawab; kejujuran; kedisiplinan; keteladanan; etos kerja; inovasi dan kreatifitas; kemampuan menerima kritik dan saran; kemampuan berkomunikasi; dan kemampuan bekerjasama. Penilaian dilakukan dengan Format Penilaian Atasan.


AKREDITASI SEKOLAH DAN MADRASAH
A.    Latar Belakang
Bidang kegiatan yang diidentifikasikan sebagai pendidikan menyiratkan dua karakteristik utama, yaitu; pertama bidang normatif yang merujuk pada nilai yang terkandung dalam konsepsi pendidikan, dan kedua bidang praktis yaitu aplikasi konsepsi yang mensyaratkan tindakan nyata untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Dua hal tersebut menuntut semua pihak yang terlibat didalam pelaksanaan pendidikan, baik secara langsung-operasional yaitu pendidik yang mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, maupun manajerial-institusional harus selalu berlandaskan pada norma, nilai dan prinsip dasar yang relevan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Paradigma baru dalam penyelenggaraan akreditasi sekolah dan madrasah tidak lagi membedakan antara lembaga negeri dengan swasta, serta mendayagunakan keterlibatan masyarakat dengan menjunjung prinsip keterbukaan dan akuntabilitas, sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang  no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Akreditasi sekolah dan madrasah diselenggarakan atas dasar pertimbangan bahwa upaya meningkatkan kualitas sekolah dan madrasah adalah upaya meningkatkan kualitas para lulusannya, sehingga dapat memiliki basis ilmu pengetahuan dan moral yang diperlukan dalam menghadapi masa depannya.
B.     Dasar Kebijakan
Sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 087/U/2002 tanggal 14 Juni 2002 tentang Akreditasi Sekolah/Madrasah, komponen-komponen sekolah yang menjadi bahan penilaian adalah:
1.      Kurikulum dan Proses Pembelajaran
2.      Administrasi dan Manajemen Sekolah/Madrasah
3.      Oraganisasi dan Kelembagaan Sekolah/Madrasah
4.      Sarana dan Prasarana
5.      Ketenagaan
6.      Pembiayaan
7.      Peserta didik
8.      Peran serta masyarakat
9.      Lingkungan dan Budaya Sekolah/Madrasah
Setiap komponen dijabarkan kedalam berbagai aspek dan indikator. Selanjutnya indikator-indikator yang dikembangkan tersebut dijadikan acuan dalam pengembangan instrumen akreditasi dan penilaian yang digunakan dalam proses akreditasi sekolah/madrasah.
C.    Tujuan
Akreditasi sekolah/madrasah bertujuan untuk:
  1. memberikan informasi tentang kelayakan sekolah/madrasah atau program yang dilaksanakannya berdasarkan SNP;
  2. memberikan pengakuan peringkat kelayakan; dan
  3. memberikan rekomendasi tentang penjaminan mutu pendidikan kepada program dan/atau satuan pendidikan yang diakreditasi dan pihak terkait.
Tujuan Akreditasi Sekolah dan Madrasah ialah agar penyelenggaraan pendidikan pada semua lingkup mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. Hal ini terkait dengan usaha pengembangan dan membangun sistem pengendalian mutu Pendidikan Nasional yang dilakukan melalui empat hal, yaitu: pertama, standarisasi yang  dimaksudkan sebagai penjaminan mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat. Kedua, evaluasi yang dilakukan dalam pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan. Selain itu tujuan ekreditasi juga bertujuan agar pihak luar, pengguna jasa pendidikan mengetahui mutu sekolah dimana mereka sedang belajar, orang tua mengetahui mutu dan repotasi dimana anak mereka belajar, pasar atau dunia kerja juga mengetahui kemana merekaharus memilih dan merekrut tenaga kerjanya; pemerintah  mengetahui dari reputasi sekolah dan madrasah yang bagaimana mereka harus merekrut atau mendapatkan tenaga kerjanya, dan lembaga-lembaga (sekolah-sekolah) lain juga dapat mengetahui dengan lembaga pendidikan yang bagaimana mereka bekerja sama. Lebih dari pada itu, pemerintah sangat berkepentingan untuk mengetahui, baik langsung maupun tidak langsung, mutu pendidikan nasional.
D.    Realisasinya di Lapangan
Hasil Wawancara kepada ibu Tika Chairumni, S.Pd. guru SMP Islam Terpadu Al-Munir Sukoharjo, Pringsewu
1.      Menurut pendapat anda apa manfaat akreditasi, sehingga banyak anak-anak/ siswa dalam suatu sekolah memilih dan memilah jurusan yang bagus/ berakreditasi A?
Karena dengan danya akreditasi yang baik/ bagus dapat bermanfaat sebagai:
1)      Dapat dijadikan sebagai acuan dalam upaya peningkatan mutu Sekolah/Madrasah dan rencana pengembangan Sekolah/Madrasah.
2)      Dapat dijadikan sebagai motivator agar Sekolah/Madrasah terus meningkatkan mutu pendidikan secara bertahap, terencana, dan kompetitif baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional bahkan regional dan internasional.
3)      Dapat dijadikan  umpan balik dalam usaha pemberdayaan dan pengembangan kinerja warga Sekolah/Madrasah dalam rangka menerapkan visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, dan program Sekolah/Madrasah.
4)      Membantu mengidentifikasi Sekolah/Madrasah dan program dalam rangka pemberian bantuan pemerintah, investasi dana swasta dan donatur atau bentuk bantuan lainnya.
5)      Bahan informasi bagi Sekolah/Madrasah sebagai masyarakat belajar untuk meningkatkan dukungan dari pemerintah, masy, maupun sektor swasta dalam hal profesionalisme, moral, tenaga, dan dana.
6)      Membantu Sekolah/Madrasah dalam menentukan dan mempermudah kepindahan peserta didik dari satu sekolah ke sekolah lain, pertukaran guru, dan kerjasama yang saling menguntungkan.
2.      Dalam menentukan akreditasi, tentu butuh pengamatan dan seseorang yang bertanggung jawab dalam menentukan hal tersebut, sepengetahuan anda, siapa yang menentukan akreditasi pada setiap lembaga sekolah/ pendidikan?
Dalam hal ini, Pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional-Sekolah /Madrasah dan Badan Akreditasi tersebut yang menentukan.
3.      Lalu, adakah kendala dalam menentukan akreditasi sekolah?
Pastinya ada, karena menentukan akreditasi sekolah tidaklah mudah, dan didiskusikan dengan  badan akreditasi tersebut.


PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A.    Latar Belakang
Dengan lahirnya PP 55 tahun 2007 ini minimal memunculkan opini di tengah-tengah masyarakat bahwa pemerintah saat ini peduli terhadap pendidikan keagamaan untuk mengambil hati warga pesantren. Dengan kata lain dikeluarkannya PP 55 tahun 2007 ini adalah upaya pemerintah untuk melakukan pendekatan dan menjalin hubungan yang harmonis dengan warga pesantren, bisa jadi dioreintasikan untuk mencari dukungan massa dalam rangka memperkuat dan memperpanjang masa kepemimpinan penguasa.
Motivasi terselubung lainnya, adalah karena ketulusan pemerintah untuk memperlakukan sama antara berbagai model pendidikan yang ada. Terlebih penerimaan hak dan kewajiban yang perlu didapat dari pemerintah, baik yang bersifat material dan non material. Karena fakta selama ini menunjukkan bahwa pendidikan keagamaan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Diakui atau tidak, secara filosofis sebenarnya pendidikan keagamaan yaitu diniyah dan pesantren sama saja dengan pendidikan umum lain, dalam perannya untuk mencerdaskan anak bangsa.
Pesantren mengajarkan dan mendidik generasi anak bangsa menjadi insan paripurna atau menjadi warga Negara yang baik, sama seperti lembaga pendidikan umum lainnya. Sikap ini boleh jadi merupakan langkah pemerintah untuk menebus dosa atas marginalisasi yang dilakukan terhadap pendidikan keagamaan selama ini yang sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional memposisikan pendidikan umum dan pendidikan keagamaan setara kedudukannya. Siapa pun pelakunya, baik pemerintah maupun masyarakat, harus mengacu pada Undang Undang tersebut. Menurut Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh; "Yang paling pokok, karena dalam rumah yang sama, tidak boleh ada diskriminasi baik dari perspektif pelaksana negeri-swasta maupun jenis pendidikan umum-keagamaan”.
Pada penghujung 2007, Pemerintah menetapkan PP No 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Beleid itu mengukuhkan kebijakan pendidikan dalam Undang-Undang 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak  penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55 tahun 2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta.
Motivasi pemerintah dalam menetapkan PP ini adalah untuk memperlakukan sama antara berbagai model pendidikan yang ada. Terlebih penerimaan hak dan kewajiban yang perlu didapat dari pemerintah, baik yang bersifat material dan non material. Karena fakta selama ini menunjukkan bahwa pendidikan keagamaan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Diakui atau tidak, secara filosofis sebenarnya pendidikan keagamaan yaitu diniyah dan pesantren sama saja dengan pendidikan umum lain, dalam perannya untuk mencerdaskan anak bangsa.
Pesantren mengajarkan dan mendidik generasi anak bangsa menjadi insan paripurna atau menjadi warga Negara yang baik, sama seperti lembaga pendidikan umum lainnya. Sikap ini boleh jadi merupakan langkah pemerintah untuk menebus dosa atas marginalisasi yang dilakukan terhadap pendidikan keagamaan selama ini yang sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran.
Permasalahan lain yang muncul sekarang ini dalam praktek penerapan kebijakan tentang pendidikan keagamaan di lapangan adalah pendidikan keagamaan yang menerapkan model pendidikan salafiyah dan madrasah diniyah belum ada standarisasi, dan pada kebanyakan pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh swasta karena belum ada ekivalensi (kesetaraan) ini mengakibatkan masa belajar yang ditempuh para peserta didik menjadi lebih lama dan tidak menentu, bertahun-tahun tapi tidak punya civil effect.
Pemerintah dalam menyusun standar bagi kesetaraan pendidikan umum dan pendidikan keagamaan seharusnya duduk bersama antara Kemendiknas dengan Kementrian Agama. Diharapkan, penyetaraan tersebut akan memberikan efek sosial di masyarakat kepada peserta pendidikan keagamaan.



B.     Dasar Kebijakan
Dasar Hukum dan Kebijakan Pemerintah dalam Pelaksanaan Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
1.      Pancasila, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Pancasila sebagai dasar Negara seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa. Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
 Disebutkan pada sila pertama Pancasila menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk merealisasikan hal tersebut maka diperlukan adanya pendidikan Agama kepada anak-anak, karena tanpa adanya pendidikan agama akan sulit untuk mewujudkan Sila pertama dari Pancasila tersebut.
2.      Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
Dalam Bab XI pasal 29 ayat (1) dan (2) disebutkan : “(1): Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” (2): “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Kedua ayat ini menyatakan bahwa bangsa Indoneia adalah bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau bangsa yang beragama.
Kemudian dalam Bab XIII pasal 31 disebutkan : “ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, ayat (3): “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.” Dalam ayat pertama pasal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dan bangsa Indonesia menghormati dan melindungi hak asasi individu yang berkedudukan sebagai warga negara berhak mendapat pendidikan. Sedangkan ayat kedua menunjukkan bahwa pemerintah dalam alam kemerdekaan akan mewujudkan kewajibannya melindungi hak asasi warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan, termasuk pendidikan agama dengan cara menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional.
3.      Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)
Dalam Bab I pasal 1 ayat (1): “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Ayat (2): “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 1 ayat (1) dan (2) dijelaskan tentang definisi dari pendidikan dan pendidikan nasional. Bahwa pendidikan pada peserta didik tidak terlepas dari proses membentuk spiritual keagamaan yang harus ditanamkan kepada generasi bangsa untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan keagamaan yang diselenggarakan baik oleh  pemerintah atau masyarakat diatur dalam UU Sisdiknas pasal 29 ayat (1) sebagai berikut:   Ayat (1) “Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Tugas pemerintah untuk memperhatikan kebutuhan pendidikan warga negaranya  khususnya pendidikan agama dan keagamaan adalah wajib hukumnya, karena merupakan kebutuhan yang mendesak dalam membangun bangsa , yang dalam prakteknya pendidikan keagamaan harus diajarkan pada semua jalur pendidikan,  ketentuan tersebut tertuang dalam pasal 29 ayat (3) UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003.(3) “Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal”.
Oleh karena itu pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik untuk mendapatkannya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Pasal 12 ayat (1a) “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak : mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.
Regulasi ini sangat strategis disamping sebagai barometer keseriusan pemerintah juga dasar hukum yang legal bagi setiap penyelenggara pendidikan baik yang dikelola pemerintah maupun masyarakat untuk membekali peserta didik dengan materi pendidikan agama yang memadai dan juga diajarkan oleh pendidik kompeten yang seagama. Sistem Pendidikan Nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh, dan terpadu. Semesta dalam arti terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara, menyeluruh dalam arti mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis  pendidikan dan terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara  pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.
Dengan sifatnya yang menyeluruh, seperti dikemukakan di atas, maka semua bentuk kegiatan pendidikan di Indonesia tercakup dalam Sistem Pendidikan Nasional, termasuk pendidikan di madrasah dan  pondok pesantren yang diselenggarakan atau dibina oleh Kementerian Agama dan selama ini lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan agama dan keagamaan. Dengan masuknya madarasah dan pesantren ke dalam kesatuan Sistem Pendidikan Nasional, mengharuskan dilakukannya penyesuaian-penyesuaian dalam penyelenggaraan dan pembinaan madrasah dan pondok pesantren dengan ketentuan dan pokok pikiran yang terdapat dalam UU Sisdiknas.
Di antara ketentuan tersebut adalah pasal 11 UU Sisdiknas yang menetapkan bahwa Ayat (1): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya  pendidikan yang bermutu bagi setia warga negara tanpa diskriminasi”. Ayat (2): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”.
4.      Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Diterbitkannya PP 55 2007, tidak lepas dari perjalanan panjang  pasang surut keberpihakan kebijakan pemerintah dari masa ke masa. Melihat jauh ke belakang secara runtut, undang-undang sistem pendidikan  nasional (UU Sisdiknas) Nomor 2 Tahun 1989, memposisikan pendidikan keagamaan sebagai pendidikan luar sekolah (PLS) sama dengan  pendidikan umum, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan dan  pendidikan kejuruan. Konsekwensi logis dari kebijakan itu, jelas menjadikan lembaga keagamaan tidak dapat perlakuan sejajar dari pemerintah, terutama dalam hal hak untuk mendapatkan anggaran.
Kondisi itu berubah seiring disahkannya undang-undang sistem  pendidikan nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003. Amanat mendasar yang menjadi inti perubahan adalah isi pasal 15 UU Sisdiknas yang menyebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, mengamanatkan perlunya menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Karena mengingat pentingnya penjabaran lebih rinci, untuk mempermudah  pelaksanaan secara tekhnis sebagai panduan di lapangan, maka tepatnya  pada tanggal 5 Oktober 2007, Produk Hukum yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007, ditetapkan oleh pemerintah yang dalam pengelolaannya sesuai dengan PP 55 2007, Pasal 9 ayat 3, dilakukan oleh Menteri Agama.
UUD 1945 menjamin setiap penduduk mendapatkan pendidikan. Negara berkewajiban memberikan pelayanan pendidikan, termasuk pendidikan keagamaan. Pendidikan keagamaan sebagaimana diatur dalam UU No 20 tahun 2003 merupakan salah satu jenis pendidikan. Sebagai jenis pendidikan, pendidikan keagamaan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dalam PP tersebut pasal (1) menyebutkan: pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Dalam peraturan pemerintah nomor 55 tahun 2007 Bab I pasal 1 dirumuskan pengertian Pendidikan agama dan keagamaan, ayat (1) menyatakan bahwa pendidikan agama adalah “pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan”.
Sedang ayat (2) pengertian pendidikan keagamaan adalah “pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya”
PP No. 55 tahun 2007 Pasal 9 (1) dan (2) menjelaskan bahwa “pendidikan keagamaan adalah meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal”. Dalam pengelolaannya pendidikan keagamaan dilakukan baik oleh pemerintah, pemerintah daerah ataupun masyarakat.
 Pasal ini mengatur Pendidikan Agama di sekolah umum dan Pendidikan Keagamaan yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Adapun MI, MTs, dan MA bukan lagi kategori Pendidikan Keagamaan, tetapi pendidikan umum di bawah Mentri Agama. Dalam PP tersebut disebutkan bahwasanya Pendidikan Agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran atau kuliah pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan adalah aspek tujuan. Merumuskan tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip prinsip dasarnya. Hal tersebut disebabkan pendidikan adalah upaya yang paling utama, bahkan satu satunya untuk membentuk manusia menurut apa yang dikehendakinya. Karena itu menurut para ahli pendidikan, tujuan pendidikan pada hakekatnya merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun keinginan manusia.
Pengertian di atas dalam PP No. 55 tahun 2007 Bab II pasal 2 ayat (2) telah dirumuskan mengenai tujuan pendidikan agama yakni; “untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni”. Sedang fungsi pendidikan agama tercantum dalam Bab II pasal 2 ayat (1) yakni; “untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubunngan inter dan antarumat beragama”.
Pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak  penting karena dalam menyelenggarakan pendidikan tidak boleh ada diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55 tahun 2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta. “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan”.

C.    Tujuan
Dalam PP. No. 55 tahun 2007 pasal 2 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa : Pendidikan agama bertujuan pendidikan agama untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia
Dari tujuan pendidikan agama dan keagamaan makna pendidikan mampu dipahami, tidak sampai tereduksi atau distorsi menjadi sekadar pengajaran. Padahal, Pembukaan UUD 1945 bagian dari konstitusi kita yang dianggap paling bertuah daripada batang tubuhnya sendiri disebutkan poin utama pendidikan kita adalah “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.” Ini jelas mengandaikan adanya transformasi nilai-nilai yang positif yang melampaui dari peran yang dimainkan sekolah. Menurut Azyumardi Azra, perbedaan antara pendidikan dan pengajaran  terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran  dan kepribadian anak didik  di samping transfer ilmu dan keahlian.
Dengan proses semacam ini, suatu negara-bangsa (state-nation) dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran dan keahlian kepada generasi mudanya, sehingga benar-benar siap menyongsong kehidupan. Totalitas pendidikan, dalam konteks ini, meliputi semua jenis pendidikan: “informal,” “formal,” dan “non-formal.”

D.    Realisasinya di Lapangan
Hasil Wawancara kepada ibu Tika Chairumni, S.Pd. guru SMP Islam Terpadu Al-Munir Sukoharjo, Pringsewu.
1.      Menurut pendapat anda apa dasar hukum dan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan?
Menurut pendapat saya, hukum dan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan adalah:
1)      Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa
2)      UU Dasar Republik Indonesia 1945
3)      Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)
4)      Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
2.      Mengapa  banyak siswa bahkan mahasiswa yang melakukan pelanggaran dalam agama, tetapi tidak di hukum atau di adili. Bagaimana menurut pendapat anda?
Inilah lemahnya bangsa indonesia, semua dapat di butakan dengan materi/uang dan terlalu banyak manusia yang melanggar peraturan agama, sehingga pemerintah sulit untuk menghukum satu persatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Koneksi Antar Materi - Modul 3.3

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh Perkenalkan saya Siti Zubaidah, S.Pd dari SMAN 1 Pardasuka, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampun...